Aceh Singkil, OneNews.com – Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Singkil selama ini merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Salah satunya diperoleh dari pengelolaan aset, seperti kebun kelapa sawit Pemda Aceh Singkil seluas 280 hektar.
Sayangnya, kebun kelapa sawit tersebut hanya menghasilkan profit bagi daerah sebesar Rp 8.500.000 per bulan. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan dugaan adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Direktur Keuangan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Aceh Singkil, Mhd Dia Urhida ketika dikonfirmasi Tim media ini menyebutkan, kebun kelapa sawit pemda tersebut saat ini telah dikelola oleh Perumda Aceh Singkil. Sedangkan luas kebun yang berproduksi hanya sekitar 80 hektar.
“Kebun yang berproduksi hanya sekitar 80 hektar. Tapi berapa luas pastinya coba tanya kepada Idrus (Direktur Risiko Manajemen-Red),” kaatanya, Senin (14/01/2024) lalu.
Ketika ditanya berapa setoran (profit-Red) kepada pemda, menurutnya profit yang dikeluakan untuk pemda Aceh Singkil selama ini hanya sebesar Rp 8.500.000 per bulan. Tapi sejak bulan Agustus 2024 lalu sudah naik menjadi Rp 15.000.000 per bulan.
Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Pendapat pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Aceh Singkil, Wagiman, SE kepada Tim media ini, Senin (14/01/2024) membenarkan jika profit yang diterima pemda Aceh Singkl dari sektor pengelolaan aset kebun kelapa sawit tersebut hanya sebesar Rp 8.500.000 per bulan.
Menurut sumber OneNews, nilai produksi kebun sawit dengan profit hanya sebesar Rp 8.500.000 perbulan adalah merupakan jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan potensi sebenarnya. Kondisi ini memicu spekulasi tentang adanya penyalahgunaan dana dan sumber daya.
“Jika dinilai dengan potensi sebenarnya dengan kebun kelapa sawit seluas 280 hektar, maka profit yang hanya sebesar Rp 8.500.000 perbulan itu adalah merupakan jumlah yang sangat kecil,” kata sumber yang juga petani kelapa sawit seluas 3 hektar ini.
Lebih lanjut sumber ini menyebutkan, andai pun kebun kelapa sawit tersebut yang berproduksi hanya 40 hektar, itu juga masih terlalu kecil. Sebab, hasil produksi kelapa sawit yang tidak dikelola dengan baik atau tidak dirawat saja produksinya paling sedikit 750 kg per hektar dalam sekali panen dengan rentang waktu 2 minggu sekali panen. Itu berarti sebutnya, dalam satu bulan hasil produksi per hektarnya tidak kurang 1,5 ton perbulan (2 kali panen sebulan-Red).
Jika berpedoman dari pengalaman petani kelapa sawit ini, tentu kita sudah dapat menghitung berapa seharusnya profit yang diterima pemda Aceh Singkil dari aset Kebun Kelapa Sawit milik pemda itu.
Katakanlah kebun kelapa sawit pemda ini yang berproduksi hanya 40 hektar dengan nilai produksi 1,5 ton per hektar dalam satu bulan. Kalikan saja 40 hektar dikali 1,5 ton per hektar, hasilnya adalah tidak kurang 60 ton per bulan. Berapa harga penjualan Tanda Buah Segar Kelap Sawit (TBS) saat ini? Sebut saja harga terendah sebesar Rp 2.400 per Kg atau Rp 2.400.000 per ton, dikali 60 ton, maka nilainya adalah sebesar Rp 144.000.000 per bulan.
Benarkah hasil yang diperoleh pengelola sebesar itu? Tentu saja tidak. Sebab ada biaya pengeluaran berupa upah panen, biaya angkut, biaya perawatan, pupuk, herbisida dan lain-lainnya. Karena hasil produksinya mengacu pada kebun kelapa sawit yang tidak dikelola dengan baik, maka taksir saja biaya pengeluarannya sebesar Rp1.500.000 per hektar dalam satu bulan) dikali 40 hektar yang berproduksi, jumlahnya Rp 60.000.000 per bulan.
Andai perhitungan tersebut benar, maka kebun kelapa sawit milik pemda ini dapat menghasilkan keuntungan bagi pengelola atau pihak ketiga sebesar Rp 84.000.000 per bulan. Pertanyaannya, wajarkah jika profit kepada pemda Aceh Singkil hanya sebesar Rp 8.500.000 per bulan? Ikuti berita selanjutnya.(RzM/Tim)