Pesta Demokrasi di tanah air tidak lama lagi akan di gelar kembali. Tapi pesta demokrasi kali ini berbeda dengan pesta demokrasi pemilu Februari yang lalu. Pesta demokrasi yang akan digelar 29 November 2024 mendatang adalah pesta rakyat untuk menentukan pemimpin daerah lima tahun kedepan.
Pertanyaannya, adakah pemilihan pemimpin daerah ini untuk membawa hidup masyarakat menuju kearah yang lebih baik? Atau akankah pesta demokrasi pemilihan kepala daerah ini hanya sarana untuk mengejar kekuasaan dan masyarakat hanya menjadi objek semata? Adakah harapan akan membawa masyarakat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran? Entahlah.
Suatu petang, saat saya berkunjung ke sebuh desa di Kecamatan Gunung Meriah. Saya melitas di halaman sebuah rumah tua. Meski rumah itu rumah tua, tapi bangunannya cukup besar dan terlihat sangat kokoh, menandakan yang empunya rumah pada zaman itu merupakan orang yang terpandang dan di segani.
Di teras rumahnya, seorang laki-laki tua berusia sekitar 80 tahun memanggil saya dengan melambaikan tangannya.
“Kamu Razaliardi ya, anak si Daholi,” katanya dengan suara lirih, sembari mempersilakan saya singgah dan duduk di teras rumah itu.
“Iya Wak”, kataku menimpali.
“Jangan panggil Wawak, panggil aku Maktuan”, sanggahnya, membenarkan tutur yang harus kupanggil untuknya. (Maktuan dalam bahasa Aceh Singkl merupakan panggilan terhadap abang dari ibu kita atau masih ada persaudaraan dengan ibu kita)
Sambil menikmati secangkir kopi, beliau membuka percakapan.
Maktuan : “Menurutmu, sudah majukah daerah kita ini sejak dimekarkan 25 tahun yang lalu?” Suaranya tenang dan dalam. Saya menduga beliau adalah salah seorang tokoh perintis otonomi kabupaten Aceh Singkil pada masa itu. Atau setidak-tidaknya sebagai pendukung pemekaran Aceh Singkil menjadi Kabupaten.
Saya : Saya terdiam sejenak. Ada keraguan dalam hati. Apakah pandangan saya sama dengan beliau. Apakah kacamata saya sama ukuran minus-plusnya. Tapi akhirnya saya jawab sesuai dengan apa yang saya lihat. “Menurutku Maktuan, daerah kita ini sudah lebih baik jika kita bandingkan dengan sebelumnya, meski sebenarnya belum sesuai dengan harapan,” kataku.
Dia kemudian menatapku dalam diam. Kemudian Dia tersenyum tipis seakan mengejekku.
Maktuan : Ya, mungkin kamu benar, tapi juga mungkin salah. “Tergantung dari terminilogi mana kita menilainya dan dari sudut pandang mana kita melihatnya,” sanggahnya, sembari tersenyum tipis seolah mencemeoh penilaianku.
Saya : Kalau menurut penilaian Maktuan bagaimana?
Maktuan : Dia menatapku. Wajahnya terlihat berwibawa. “Aceh Singkil hari ini belum bisa dibanggakan. Tidak ada kemajuan yang signifikan. Terutama sepuluh tahun terakhir ini. Kenapa? Itu karena pemimpinnya. Maju atau tidak sebuah daerah tergantung siapa pemimpinnya. Coba lihat Kota Subulussalam, daerah itu kita yang melahirkan, tapi mereka sudah lebih maju. “Itu karena apa? Karena pemimpinnya seorang yang visioner,” katanya.
Saya : Oh begitu? Apa Maktuan mengenal semua pemimpin Aceh Singkil ini?
Maktuan : Saya kenal. Hampir semuanya saya kenal. Saya kenal Alm Makmur Syahputra, saya kenal Safriadi yang biasa dipanggil dengan sebutan Oyon, saya kenal Dulmusrid yang dipanggil dengan sebutan Bengkek, dan saya juga kenal dengan Azmi.
Saya : Bagaimana Maktuan menilai sosok Alm Makmur Syahputra?
Maktuan : Makmur itu adalah pemimpin yang hebat. Belum ada duanya di daerah ini. Kepemimpinnanya cukup karismatik, energik, cerdas dan islami. Alur pikirannya tidak terjangkau oleh nalar sebahagian orang. Dia menghargai lawan dan setia terhadap teman. Lawan dia jadikan teman, dan teman dia jadikan saudara.
Pada masa kepemimpinanya banyak terobosan-terobosan pembangunan yang dia gagas, dan dia pulalah yang meletakkan dasar-dasar pembangunan daerah ini. Dia punya salah satu program bernama Getamarasa. Yaitu, Gerakan Tani Mamur Sejahtera. Nama Aceh Singkil ketika itu menggema kemana-mana.
Coba bayangkan, dalam kurun waktu 6 tahun setelah Aceh Singkil menjadi otonomi, beliau mampu melahirkan sebuah pemerintahan Kota yang sekarang bernama pemerintahan Kota Subulussalam. Sayang, usia beliau tidak panjang.
Saya : Sehebat itukah Alm. Makmur Syahputra?
Maktuan : Ya, bahkan melebihi yang saya duga. Pertanyaannya, kenapa dia bisa sehebat itu? Karena dia dikelilingi oleh orang-orang yang cerdas dan visioner yang memiliki padangan ke masa depan.
Ah, kamu ini. Kamu juga mengenalnya, bahkan kamu adalah salah satu sahabatnya Makmur yang turut andil memberikan pemikiran-pemikian yang positif. Aku membaca tulisanmu di koran Metro Kepri tentang dia dengan judul “Makmur Syahputa Di mataku”. Kamu juga bilang disitu, satu hal yang menjadi ciri khas Makmur Syahputra adalah senyumnya. Siapapun yang menemuinya, dia akan menyapa dengan senyum terlebih dahulu.
Saya : Bagaimana dengan permimpin yang lainnya?
Maktuan : Ah, tak usah kita bicarakan yang lainnya. Lebih baik kita bicara pesta demokrasi, sebentar lagi kita Pilkada.
Saya : Wuah, mantap. Apa Maktuan juga mengikuti perkembangan pilkada kali ini?
Maktuan : Kau pikir aku tidak tau apa-apa ya? Kau pikir apakah kau lebih pintar dari aku?
Saya : Bukan, bukan begitu maksud saya Maktuan.
Maktuan : Ya sudah. “Aku hanya bercanda,” ujarnya tersenyum.
Saya : “Bagimana Maktuan melihat situasi menjelang Pilkada di daerah kita ini,” Tanyaku langsung kepokok pembahasan yang dia minta.
Maktuan : Saya lihat banyak hal-hal yang muncul dadakan.
Saya : Maksudnya ada tokoh yang muncul dadakan, begitu?
Maktuan : Oh, tidak. Tidak begitu. Maksud saya yang dadakan itu adalah simbol-simbol atau slogan-slogan para kandidat bupati.
Saya : Slogan mana yang Maktuan bilang dadakan?
Maktuan : Coba kau perhatikan. “Saya lihat ada slogan BeDa, tapi apanya yang beda. Apa tu BeDa pilihan dadakan? Ada lagi slogan Saham, memang apa kita punya saham dadakan?,” sindirnya.
Saya : Tadi Maktuan bilang banyak slogan yang muncul dadakan. “Kok Cuma dua,” kataku mendesak.
Maktuan : Ada lagi itu memakai sloga Duha. Apa sholat DUHA dadakan? “Tapi dari sekian banyak slogan itu yang paling mengganjal dihati saya adalah slogan SAHABAT.
Saya : Memangnya kenapa Maktuan?
Maktuan : Menurut sepengetahuan saya, Sahabat itu adalah teman lama. Kita dulu pernah akrab, saling berbagi dan saling mengunjungi jika ada sesuatu hal. Tapi ini kok munculnya baru sekarang. Dari kemaren kemana saja “Apa ini Sahabat Dadakan,” katanya sambil tertawa geli.
Saya : Ah, tidaklah Maktuan. “Itu memang sahabat lama yang baru sekarang bertemu,” kataku menutup dialog dengan Maktuan.